27 September 2007

3 (TIGA) MODEL ASURANSI SYARIAH

Selama berkiprah dan mengikuti perkembangan Takaful baik di Indonesia maupun di dunia, kita semua mungkin lebih banyak mengenal akad mudharabah sebagai salah satu model paling terkenal / popular. Akad / perjanjian ini memang lebih dominan dipakai oleh provider Takaful di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Namun demikian, sesungguhnya model pengelolaan dana dalam asuransi syariah tidak hanya menggunakan prinsip mudharabah saja. Berikut ini akan kita coba lihat beberapa model Takaful yang diterapkan di beberapa negara dengan karkeristiknya / cirinya masing-masing, antara lain:

1. Non-Profit Model. Model seperti ini biasanya dipakai oleh perusahaan sosial milik negara atau organisasi yang dikelola secara non profit (nirlaba), sebagai contoh: Al Sheikhan Takaful Company di Sudan yang mana mereka telah menerapkan pembayaran premi dengan 100% berupa tabarru (derma) yang digunakan untuk membantu / menolong anggota lain yang mengalami musibah. Kata Tabarru itu sendiri merupakan perkataan Arab yang mempunyai arti kata “ menderma secara ikhlas “. Model seperti inilah yang sesungguhnya paling mendekati konsep dasar asuransi syariah karena selaras dengan kaidah-kaidah berikut : (a) Saling bertanggung jawab. Semua peserta dalam asuransi syariah adalah satu keluarga besar yang mempunyai kewajiban saling bertanggung jawab antara satu dan lainnya. Memikul tanggung jawab dengan niat baik merupakan ibadah. Rasulullah SAW bersabda, “Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh, apabila ada anggotanya yang sakit, maka akan seluruh tubuh akan ikut merasakannya.” (HR. Bukhari Muslim). (b) Saling bekerja sama. Para peserta bersetuju untuk bekerjasama dan saling membantu diantara satu sama lain dalam unsur kebaikan (QS. Al-Maidah : 2). (c) Saling melindungi. Sabda Rasulullah SAW yang mengandung maksud ini, “Sesungguhnya seorang yang beriman ialah siapa yang memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa manusia.” (HR. Ibnu Majah). Peserta menyetorkan preminya dengan niat tabarru ( menderma ) dan perusahaan asuransi syariah selaku pengelola akan mengelola dana peserta sesuai kaidah-kaidah syari.
Dengan melihat kepada hakekat asuransi ini, maka kita akan mendapatkan kenyataan dan tujuannya adalah saling tolong menolong untuk menghadapi mara bahaya dan musibah yang terkadang menimpa sebagian orang dengan cara menggantinya dari uang yang telah dikumpulkan dari hasil premi mereka dan bukanlah tujuannya untuk mencari keuntungan atau menjadikannya lahan untuk mencari penghasilan.
Menjadi sebuah permasalahan dilematis ketika banyak muncul pertanyaan dari nasabah asuransi syariah tentang keabsahan akad tabarru karena terdapat kontroversi antara definisi keikhlasan dalam berderma dengan nilai nominal tabarru yang telah ditetapkan oleh pengelola. Memang, layaknya sebuah hibah atau shadaqah, besar kecilnya tabarru semestinya tidak ditentukan pengelola namun diserahkan sepenuhnya kepada peserta / anggota. Akan tetapi dalam asuransi syariah diperbolehkan adanya derma bersyarat yang mana pengelola terpaksa menetapkan kadar / ukuran tabarru setiap peserta sesuai dengan risiko yang dibawanya agar terpenuhi unsur keadilan. Dengan demikian, jika seorang peserta membawa risiko yang besar maka kadar tabarru yang disumbangkan mestilah sepadan dengan risiko tersebut.
2. Al-Mudharabah Model, Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua belah pihak yang mana pihak pertama menyediakan modalnya 100% sedangkan pihak yang lainnya menjadi pengelola. Untuk itu Disini terjadi pembagian untung rugi diantara anggota (shahibul maal) dan pihak pengelola / perusahaan asuransi (mudharib). Beberapa provider yang menerapkan akad ini antara lain Syarikat Takaful Malaysia Sdn Bhd (Malaysia), Syarikat Takaful Singapore Pte Ltd (Singapura), Insurans Islam TAIB Sdn Bhd (Brunei Darussalam), dan Syarikat Takaful Indonesia (Indonesia). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalnya saja kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, yang mana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedangkan pihak perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungannya.
3. Wakalah
Meskipun sampai saat ini kontrak kontrak asuransi syariah masih didominasi akad mudharabah, namun oleh beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi catatan khusus terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudaharabah difokuskan pada sedikitnya 3 (tiga) hal :
• Definisi profit sharing dalam akad mudharabah adalah "tingkat pengembalian dana hasil investasi" sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan profit sharing tapi surplus sharing dimana yang dibagihasilkan adalah hasil investasi + modal pokok yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.
• Peserta Takaful dalam akad mudharabah sebenarnya hanya bertanggung jawab atau berkontribusi terhadap suatu kerugian sebatas pada dana yang ia setorkan. Hal ini berbeda dengan asuransi dimana nasabah bertanggung jawab terhadap suatu klaim dalam jumlah yang tidak terbatas.
• Kontribusi premi yang diniatkan sebagai tabarru (derma) tidak secara otomatis dapat ditarik kembali oleh peserta dalam bentuk pengembalian premi atau nomor claim discount karena konsep dasar tabarru adalah hibah seharusnya tidak bisa dimanfaatkan kembali oleh si pemberi hibah sendiri.
• Dalam model mudharabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll) sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai kapasitasnya dalam akad mudharabah. Dalam kenyataan di beberapa model mudharabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.
Berbeda dengan akad mudharabah, dibawah akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional. Contoh lembaga yang sudah menerapkan adak ini adalah Bank Aljazira.
Penutup
Akad dalam asuransi syariah sebenarnya memiliki variasi atau jenis yang beragam. Dan oleh karena praktek asuransi perusahaan (tijari) yang berkembang selama ini pada dasarnya tidak dikenal di jaman Rasulullah maka menjadi tugas para ekonom muslim, terutama ahli dan praktisi asuransi syariah untuk terus melakukan kajian lebih mendalam guna mencari formula yang ideal dalam menyempurnakan sistem operasional bisnis asuransi syariah. Wallahua’lam.

Source:
http://pojokasuransi.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Thank you mas udah nampilin artikelku, cuma link-nya ngga aktif kayaknya ya..but i am pleased with your blog, coz ada artikel saya yang 100% dibajak tanpa menyematkan active link-nya di akhir tulisan..

Anonim mengatakan...

maksudku bukan di blog ini lho ya, tapi di blog lain..aku tahunya waktu googling dengan keyfrase "äsuransi syariah".